Jauh sebelum meninggal pada 27 Januari 2008, Soeharto telah memilih makam untuk dirinya. Meski berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Soeharto memilih untuk dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Tidak sembarangan Soeharto memilih dimakamkan di tempat tersebut, kecintaannya pada sang istri, Ibu Tien membuatnya Astana Giribangun dipilih sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.
Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 666 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, MN II, dan MN III.
Dalam buku otobiografi, 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang diterbitkan tahun 1989, Presiden Kedua Republik Indonesia tersebut berpesan kelak jika ajal menjemputnya, dia minta untuk dimakamkan di Astana Giribangun. Hal ini karena sang istri telah berpesan bahwa dirinya meminta untuk dimakamkan dimakam keluarga tersebut kelak jika meninggal.
"Ia (Ibu Tien) dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepatnya di Astana Giribangun. Masa saya harus pisah dengan istri saya. Dengan sendiri saya pun minta dimakamkan di Astana Giribangun," ujar Soerharto dalam buku otobiografinya tersebut di halaman 561.
Namun pembangunan makam di atas bukit itupun tidak lepas dari pergunjingan. Banyak yang menyebut bahwa Soeharto menghiasi makam keluarga tersebut dengan emas. Isu itu pun segera dia bantah.
"Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak Benar. Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri," ujar Soeharto.
Yang benar, menurut Soeharto, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulung Agung. Sedangkan kayunya memang diambil dari kayu-kayu berkualitas agar kuat dan tahan lama.
"Pintu-pintu di sana yang dibuat dari besi adalah karya pematung kita yang terkenal G Sidharta. Alhasil segalanya buatan bangsa sendiri," terangnya.
Ledakan keras saat penggalian makam Soeharto
Beberapa saat setelah RS Pusat Pertamina mengumumkan bahwa Soeharto meninggal dunia, Bupati Karanganyar saat itu beserta segenap Muspida langsung menggelar rapat. Dalam rapat yang khusus membahas persiapan pemakaman Soeharto itu juga dihadiri oleh Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, juga Sukirno, pegawai Astana Giribangun.
Keesokan harinya, dilakukan upacara bedah bumi yang dipimpin langsung oleh Begug Purnomosidi di Astana Giribangun. Upacara kecil itu sebagai permohonan izin kepada Tuhan yang Mahakuasa agar arwah HM Soeharto diterima. Setelah itu pun penggalian makam dimulai.
"Hantaman linggis yang pertama menghujam, disusul hantaman yang kedua. Tepat pada hantaman linggis yang ketiga tiba-tiba duarrrrrr. Terdengar suara ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami," ujar Sukirno dalam buku 'Pak Harto Untold Stories' halaman 344.
Sukirno yang kini menjadi juru kunci Astana Giribangun menyebut bahwa ledakan keras tersebut tidak mirip suara petir, melainkan lebih mirip suara bom. Namun di sekeliling Astana tidak ada yang porak poranda akibat ledakan keras tersebut.
Semua orang yang berada di Astana langsung menengadah ke atas mencari sumber dentuman keras atau mencari kerusakan. Namun ledakan tersebut hanya seolah bunyi keras yang tidak meninggalkan bekas.
"Alhamdulillah, ini mengisyaratkan bahwa Pak Harto benar-benar orang besar. Bumi mengisyaratkan penerimaannya terhadap jenazah beliau," ujar Bupati Begug kala itu.
Tidak sembarangan Soeharto memilih dimakamkan di tempat tersebut, kecintaannya pada sang istri, Ibu Tien membuatnya Astana Giribangun dipilih sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.
Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 666 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, MN II, dan MN III.
Dalam buku otobiografi, 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang diterbitkan tahun 1989, Presiden Kedua Republik Indonesia tersebut berpesan kelak jika ajal menjemputnya, dia minta untuk dimakamkan di Astana Giribangun. Hal ini karena sang istri telah berpesan bahwa dirinya meminta untuk dimakamkan dimakam keluarga tersebut kelak jika meninggal.
"Ia (Ibu Tien) dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepatnya di Astana Giribangun. Masa saya harus pisah dengan istri saya. Dengan sendiri saya pun minta dimakamkan di Astana Giribangun," ujar Soerharto dalam buku otobiografinya tersebut di halaman 561.
Namun pembangunan makam di atas bukit itupun tidak lepas dari pergunjingan. Banyak yang menyebut bahwa Soeharto menghiasi makam keluarga tersebut dengan emas. Isu itu pun segera dia bantah.
"Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak Benar. Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri," ujar Soeharto.
Yang benar, menurut Soeharto, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulung Agung. Sedangkan kayunya memang diambil dari kayu-kayu berkualitas agar kuat dan tahan lama.
"Pintu-pintu di sana yang dibuat dari besi adalah karya pematung kita yang terkenal G Sidharta. Alhasil segalanya buatan bangsa sendiri," terangnya.
Ledakan keras saat penggalian makam Soeharto
Beberapa saat setelah RS Pusat Pertamina mengumumkan bahwa Soeharto meninggal dunia, Bupati Karanganyar saat itu beserta segenap Muspida langsung menggelar rapat. Dalam rapat yang khusus membahas persiapan pemakaman Soeharto itu juga dihadiri oleh Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, juga Sukirno, pegawai Astana Giribangun.
Keesokan harinya, dilakukan upacara bedah bumi yang dipimpin langsung oleh Begug Purnomosidi di Astana Giribangun. Upacara kecil itu sebagai permohonan izin kepada Tuhan yang Mahakuasa agar arwah HM Soeharto diterima. Setelah itu pun penggalian makam dimulai.
"Hantaman linggis yang pertama menghujam, disusul hantaman yang kedua. Tepat pada hantaman linggis yang ketiga tiba-tiba duarrrrrr. Terdengar suara ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami," ujar Sukirno dalam buku 'Pak Harto Untold Stories' halaman 344.
Sukirno yang kini menjadi juru kunci Astana Giribangun menyebut bahwa ledakan keras tersebut tidak mirip suara petir, melainkan lebih mirip suara bom. Namun di sekeliling Astana tidak ada yang porak poranda akibat ledakan keras tersebut.
Semua orang yang berada di Astana langsung menengadah ke atas mencari sumber dentuman keras atau mencari kerusakan. Namun ledakan tersebut hanya seolah bunyi keras yang tidak meninggalkan bekas.
"Alhamdulillah, ini mengisyaratkan bahwa Pak Harto benar-benar orang besar. Bumi mengisyaratkan penerimaannya terhadap jenazah beliau," ujar Bupati Begug kala itu.
[hhw]